Pedagogi Universitas untuk Emansipasi dan Transformasi

Educaton is political, cultural and social action. It is bound up in the intreplay between state and civil society shaping who we are, what we do, how we think and speak; and, what we receive from and give to society. The business of education is the creation and recreation of culture, society and personal identity. Systems of education comprise networks of workers, practices and policies for nurturing learning capacity for the benefit of individuals and for the benefits of society. Education is seen both as a force for social change and as the vehicle for reproducing existing social hierarchies. (Monica McLean, 2006: 1)

Kutipan saya atas paragraf pertama dari bab pertama tulisan Monica McLean mengantarkan kita pada konsep dasar dari satu paradigma pendidikan yang lazim disebut sebagai pendidikan kritis (critical education), pedagogi kritis (critical pedagogy), dan juga pendidikan transformatif (transformative education). Bahwa pendidikan bukanlah ruang yang bebas dari intervensi dan praktik politik, bahkan pendidikan adalah arena pertarungan pengetahuan, budaya dan nilai-nilai. Pada lingkup mikro, ketika seorang guru misalnya, menentukan sendiri pengetahuan apa yang akan ia berikan pada anak didiknya, maupun ketika ia melakukan negosiasi pengetahuan yang akan ia berikan tersebut dengan anak didiknya, di situlah “praktik politik” terjadi, yakni dengan adanya pengambilan keputusan dan sikap. Adanya praktik komunikasi dan relasi antar-guru, siswa, institusi sekolah, masyarakat juga menunjukkan bahwa pendidikan adalah aksi budaya dan sosial, karena bahasa komunikasi dan substansi komunikasi adalah produk budaya dan praktik berkomunikasi adalah bentuk tindakan atau aksi sosial.

Baik sebagai tindakan atau aksi politik, budaya dan sosial, secara garis besar—dalam diskursus pedagogi kritis—terdapat dua perspektif dan arah dari praksis pendidikan, yaitu sebagai (1) upaya reproduksi dari tata nilai sosial dominan yang ada dan juga sebagai (2) arena perlawanan (resistance) dan transformasi sosial. Diskusi lebih lanjut mengenai dua perspektif dan arah dari praksis pendidikan tersebut dapat diikuti misalnya pada tulisan Eric Margolis (2001) dan Henry Giroux (1983). Monica McLean di sini, dengan mendasarkan pada basis teori kritis Jürgen Habermas yang banyak dikenal sebagai generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, dengan demikian menempatkan diri dalam upaya untuk membangun praksis pendidikan yang diarahkan untuk transformasi sosial. Lalu apa menarik dan pentingnya apa yang diupayakan oleh Monica McLean melalui bukunya “Pedagogy and the University: Critical Theory and Practice” (2006)? Mari kita lihat dan tarik dalam konteks sosio-kultural Indonesia, terutama perguruan tinggi atau kampus-kampus (universitas, institut, sekolah tinggi) di Indonesia.

Pertama, tidak banyak literatur yang membahas mengenai dimensi atau ranah pedagogi di universitas di Indonesia, terlebih dengan nuansa, ekspresi dan arahan dasar pedagogi kritis. Diskursus besar yang berkembang di Indonesia mengenai universitas lebih banyak dibawa ke arah ranah penelitian dan pengabdian pada masyarakat, bahkan di era sekarang ini banyak arah penelitian didikte oleh kebutuhan dunia industri (pasar), padahal tidak semua kampus basis dasar dan orientasinya adalah pada pasar, misalnya adalah kampus-kampus kependidikan eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Memang pada beberapa kampus eks-IKIP, orientasi pada aktivitas pengajaran masih kental dan lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas meneliti, menulis dan melakukan advokasi di masyarakat. Namun orientasi pada pengajaran tersebut ternyata tidak banyak dibarengi dengan perkembangan gagasan pedagogi kritis dan sejenisnya, banyak dosen yang masih berkutat dengan gaya dan praktik perkuliahan konvensional, walau di sisi lain juga terdapat fenomena mulai berkembangnya gagasan dan praktik pedagogi yang kritis dan transformatif.

Kedua, Monica McLean (2006) berupaya untuk membumikan teori besar yang familiar disebut sebagai Teori Kritis yang dilahirkan dari rahim tradisi berpikir Marxian ala Mazhab Frankfurt, atau yang juga dikenal sebagai neo-Marxian. Upaya pembumian dan/atau bisa juga disebut sebagai kontekstualisasi inilah yang kurang pada dunia akademik di Indonesia. Cara pandang Habermas, Gramsci dan Foucault misalnya memang pada level dan konteks tertentu sudah dicoba untuk “dibumikan” dalam konteks Indonesia oleh Mansour Fakih dan kawan-kawan (1996, 2010 & 2011), namun hal itu tidak terjadi di dalam dunia akademik, melainkan di dunia gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat marjinal. Di sinilah Monica McLean mengisi kekosongan dari apa yang agaknya belum banyak dilakukan oleh para intelektual dan aktivis pendidikan di Indonesia, terutama dalam dunia akademik atau di dalam pendidikan formal persekolahan (schooling), dengan membawa Teori Kritis dari Habermas untuk dijadikan sebagai acuan dalam analisis kritis gagasan dan praksis pedagogi di perguruan tinggi.

Ketiga, dengan acuan dasar pada Jürgen Habermas, maka ia telah membawa alternatif lain dari gerakan pedagogi kritis di Indonsia, yang sejak pertengahan Orde Baru banyak dipengaruhi oleh gagasan dan praksis pendidikan Paulo Freire. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa di Indonesia amat jarang terdapat teori-teori besar yang dibumikan atau dikontekstualisasikan dalam dunia pendidikan, terlebih lagi teori sosial kritis untuk dibumikan dalam dunia pendidikan sampai pada ranah dan praksis pedagoginya. Hal itu dapat dipahami karena memang Teori Kritis—termasuk dari Jürgen Habermas—memang “tidak terkait langsung” dengan dunia pendidikan, teori Tindakan Komunikatif (communicative action)—yang juga dirujuk oleh Monica McLean (2006)—misalnya bukanlah teori untuk menjelaskan fenomena pendidikan dalam arti umum, melainkan sebuah teori untuk menjelaskan fenomena sosio-kultural. Oleh karena itu, upaya untuk membawa teori-teori sosial kritis—dalam hal ini adalah Teori Kritis dari Habermas—amatlah penting bagi perkembangan gerakan pedagogi kritis di Indonesia. Ibaratnya, pedagogi kritis dengan demikian telah mendapatkan satu bantuan lagi, berupa perspektif paradigmatik sebagai pisau analisis untuk membedah praksis pendidikan di Indonesia.

1.    Mengapa Teori Kritis dan Mengapa Jürgen Habermas?
Monica McLean (2006) menggunakan istilah university pedagogy atau yang dapat diartikan sebagai gagasan dan praktik pedagogi di universitas—atau perguruan tinggi dalam konteks Indonesia. Memang ia tidak menyatakan pengertian itu secara eksplisit dalam kalimat atau paragraf tertentu dalam bukunya, namun dengan pemahaman tersebut maka university pedagogy dapat ditulis dan sebut secara singkat sebagai pedagogi universitas dalam pengertian pedagogi “di dalam” konteks universitas. Penggunaan istilah pedagogy ketimbang education menyiratkan fokus dan kecenderungan bahwa diskursus yang ia bawa sampai pada level “operasional” praksis pembelajaran di dalam kelas (micro level). Kalau menggunakan istilah education, maka sebagaimana terdapat misalnya dalam banyak diskursus dalam educational studies atau kajian pendidikan, lingkup bahasannya lebih banyak pada soal kebijakan pendidikan (education policy), manajemen pendidikan, kurikulum dan sejenisnya yang besar-besar.

Sebagai sebuah gagasan yang mendasarkan pada analisis kritis terhadap pendidikan, ulasan Monica McLean (2006: 2) sejalur dan merupakan upaya lebih lanjut dari perkembangan gerakan pedagogi kritis. Ia menyatakan banyak terinspirasi dari gagasan Paulo Freire, Michael Apple, dan Henry Giroux yang sama-sama menggunakan cara pandang paradigmatik Marxian sebagai pisau analisis terhadap praksis pendidikan. Dengan mendasarkan pada analisis kritis itulah McLean memfokuskan analisisnya pada dunia perkuliahan (universitas) dengan menyatakan bahwa:

Current policy interventions construct university education as a technical-rational pursuit and overemphasize its economic purposes. Higher education teaching and learning should rather be constructed as intellectually challenging and for emancipatory as well as economic purposes. Habermas’s theories are resources both for critique and for thinking about alternative, principled approaches to developing university pedagogy in the conditions of the twenty-first century. (Monica McLean, 2006: 3)

Bagi McLean, Habermas dengan teori-teori sosial kritisnya amat penting sebagai pisau analisis terhadap praksis pendidikan di universitas, sampai pada ranah pembelajaran di dalam kelas. Sebagaimana kutipan pendek di atas, McLean sudah menggunakan istilah-istilah khas dari kalangan Mazhab Frankfurt, yaitu rasionalitas teknis (technical-rational), yang dengan demikian artinya: pendidikan di universitas sudah diarahkan dan dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan teknis. Habermas bagi McLean cukup menjanjikan sebagai sumber untuk melakukan kritik terhadap praksis pendidikan di universitas, selain itu juga menujukkan alternatif terhadap kondisi sosio-kultural yang ada. Teori Kritis menurut McLean menawarkan sebuah teori yang dapat menjadi kerangka kerja (framework) dalam mengkritik tujuan, praktik dan kebijakan (policy) dari pedagogi universitas sekarang ini, dan sekaligus menjadi dasar bagi tujuan emansipasi dan keadilan sosial melalui praksis pedagogi universitas. Selanjutnya McLean (2006: 9) menyatakan:

Critical theory is normative: the purpose of critique is to delineate a more just and free future. “Critical” refers not only to a critique of social conditions, but also to Kant’s idea of self-reflective examination of the limits and validity of our own knowledge and understandings. Critique involves reflection on what we take for granted, identifying the constraints of injustice, and, freeing ourselves to consider fairer alternatives. Yet, it is important to be quite clear that critical theory does not aim to produce definitive knowledge, nor does it posit straightforward, inevitable progress. Critical theory constructs arguments,  which should always be kept open, about how we are doing and what it would be wise to do; it aims, in particular, to put brakes on moves by the powerful and inhumane to distort human life.

Dari kutipan tersebut, menurut McLean, Teori Kritis memiliki daya dan energi untuk mengkritik kondisi sosial sebagai cara untuk menggambarkan visi masa depan yang lebih berkeadilan sosial dan bebas. Tidak hanya itu, kritik dari Teori Kritis juga ditujukan pada ranah epistemologi, yakni mengenai kebenaran pengetahuan dan pemahaman terhadap realitas sosial. Hal tersebut ditunjukkan misalnya dengan kritiknya terhadap hegemoni pengetahuan yang didasari oleh paradigma positivistik. Jadi, tidak sekadar berupaya untuk mengungkap penindasan terselubung dan tersembunyi saja. Sebagaimana diulas oleh McLean (2006: 8), Horkheimer pada 1937 menolak argumen dasar positivisme dalam metodologi penelitian, bahwa teknik-teknik dapat menunjukkan kebenaran objektif tentang dunia sosial dan politik. Horkheimer mengajukan Teori Kritis yang bertujuan untuk membangun pengetahuan dari tujuan spekulatif untuk memahami kesalingkaitan dan kesalingbergantungan subjek manusia dan dunia objektif. Horkheimer menyatakan, pengetahuan tersebut akan menunjukkan jalan pada pemahaman kritis terhadap masyarakat dan juga sebagai panduan praktis bagi aksi politik dan sosial.

Dalam hal ini Monica McLean mengacu khusus dan terutama kepada Jürgen Habermas, karena ia menyediakan gambaran teoretik yang cukup luas mengenai kejelasan agenda politik masa depan, yatu masyarakat yang berbasis pada kesetaraan, kebebasan, demokrasi, otonomi dan pemberdayaan kolektif (McLean, 2006: 10). Habermas juga menawarkan pandangan bahwa pendidikan adalah solusi untuk masalah yang dihadapi manusia, dan sebagai bidang kajian, pendidikan secara tradisional cukup luas dan interdisiplin, oleh karenanya sesuai dengan bidang kajian Habermas yang juga menggabungkan kajian epistemologi, psikologi, sosiologi, etika, filsafat dan politik sebagai fondasi bagi pandangan optimistik dalam upaya mengembangkan kualitas hidup manusia. Hal penting  yang diambil oleh McLean untuk membangun pemikirannya mengenai pedagogi universitas dari Habermas adalah: (1) argumen bahwa modernitas adalah proyek yang belum usai dan dianggap cukup menjanjikan bagi tumbuhnya otonomi, keadilan, demokrasi dan silidaritas; (2) konsep kolonisasi dunia kehidupan (lifeworld); dan (3) gagasan mobilisasi rasio komunikatif (communicative reason).

Dua hal terakhir tersebut menunjukkan dua sisi dari tatanan sosial modernitas, di satu sisi terjadi praktik kolonilasi dunia kehidupan oleh uang dan kekuasaan, dan di sisi lain terdapat potensi bagi terbangunnya tatanan masyarakat yang adil dengan mengandalkan rasio komunikatif. Di sinilah Habermas mengidealkan hadirnya pencerahan (enlightenment)—yang ia nyatakan sebagai proyek modernitas yang belum “sepenuhnya” terwujud—dengan bertumpu harap pada rasio komunikatif. Oleh karena itu bahasa menjadi harapan bagi Habermas dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat yang lebih baik. Ia membuat dua asumsi yang saling berhubungan, yaitu (1) bahwa tujuan bahasa adalah untuk menghasilkan makna dan mencapai pemahaman antara satu dan lainnya mengenai makna tersebut; dan (2) bahwa tiap pengguna bahasa memiliki kemampuan untuk memproduksi makna dan motivasi untuk menghasilkan kesepakatan dengan yang lain mengenai bagaimana tindakan tersebut adalah kapasitas untuk rasio komunikatif (McLean, 2006: 10).

Jadi, melalui bahasa diharapkan terjadi percakapan yang mendasarkan pada rasio (akal sehat, akal budi) hingga menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sosial untuk kehidupan yang lebih baik. Inilah yang disebut sebagai teori Tindakan Komunikatif (theory of communicative action) dari Jürgen Habermas, sebagaimana ditulis oleh McLean (2006: 10-11) dengan mengutip Habermas sebagai berikut:

For Habermas the potential for emancipatory change is in the creation of “ideal speech situations” in which people, free from constraints and power relations, rationally discuss and reach agreements about social matters. Intersubjectivity rather than the individual subject becomes the prime focus: “Participan in interaction… coordinate their plans for action by coming to and understanding about something in the world (1987, p. 296).

Namun, para pengkritik Habermas pun mempertanyakan, apakah mungkin “ideal speech situations” tersebut dapat terwujud? McLean (2006: 11) sendiri menyatakan bahwa komunikasi akan terdistorsi atau menyimpang ketika dunia kehidupan (lifeworld) dikolonisasi (colonized). Apakah dunia kehidupan itu? Bagi Habermas—sebagaimana dikemukakan oleh McLean—dunia kehidupan sangat luas, kompleks, yang menyusun praktik, adat atau kebiasaan, dan gagasan-gagasan individual dan kelompok. Sementara itu kolonisasi merujuk pada invasi yang tidak tepat terhadap kehidupan individu atau kolektif oleh uang dan kekuasaan. Pada fenomena kolonisasi tersebut, konsensus sulit dicapai karena memang perbincangan tidak menghasilkan apa-apa kecuali kehilangan makna dan motivasi. Tapi kondisi tersebut bagaimanapun juga mengundang perlawanan, yaitu dalam bentuk rasio dan tindakan komunikatif (communicative reason and action). McLean (2006: 11) menyatakan bahwa konsep “rasio komunikatif” memuat gagasan Habermas mengenai potensi mawas diri dan pembebasan diri dan kelompok, melepaskan diri dari dunia kehidupan sebelumnya, menuju pada kesepakatan yang rasional dan tanpa paksaan melalui penggunaan bahasa sehari-hari yang cakap.

2.    Kritik terhadap Jürgen Habermas.  
Salah satu kritik terhadap Habermas adalah gaya tulisannya yang terkenal sulit dipahami, selebihnya McLean (2006: 11-12) merujuk pada kritik yang diajukan oleh Anthony Giddens (1985) misalnya, yang menyatakan bahwa pemikiran Habermas sulit untuk ditempatkan pada satu sisi tertentu. Hal itu karena Giddens menganggap bahwa Habermas telah merevisi konsepsi teoretis Marx terlalu banyak bagi kalangan Marxis, namun ia juga tetap dianggap terlalu Marxist bagi kalangan pemikir dan penganut postmodernisme. Dari kalangan Marxis, tentunya termasuk pada pendahulu dari kalangan Mazhab Franfurt menyatakan bahwa dominasi “rasionalitas teknologis” diartikan bahwa semua hal menjadi subjek dari kalkulasi dan prediksi, bahwa manusia, alam dan produksi semuanya berubah menjadi objek manipulasi, dan menjadi rapuh di hadapan kontrol yang tak terbatas dan penyesuaian (adjustment).

Habermas juga menyatakan hal yang sama, bahwa satu sisi modernitas memang menghalangi terjadinya debat etis dan politis serta kerjasama serius dalam memecahkan problem sosial. Hanya saja, ia juga berargumen, bahwa kondisi tersebut juga memungkinkan untuk mempertanyakan ide-ide dan norma yang diterima, hingga kita dapat memiliki lebih banyak pilihan untuk mengambil dan mengembangkan potensi untuk dapat menjadi rasional secara politis dan etis. McLean (2006: 12) juga menyatakan, bahwa mungkin Habermas sendiri memiliki pertanyaan yang mungkin belum terjawab, yaitu: apakah rasional dan benar untuk mempercayai bahwa akal budi (rasio) masih memiliki potensi untuk menjadi kekuatan pendorong bagi terbangunnya dunia yang lebih baik. McLean juga menjelaskan bahwa penekanan Habermas pada bahasa sebagai alat untuk mencapai pemahaman rasional melalui tindakan komunikatif juga ditentang oleh para “relativis” yang percaya bahwa rasio selalu bersifat lokal dan kontingen (tidak tentu, tidak pasti). Para “relativist” ini juga familiar disebut sebagai para pemikir dan penganut gagasan atau paradigma berpikir posmodernis.

Kritik lain juga datang dari Edward Said, sebagaimana dikemukakan oleh McLean (2006: 13), bahwa Said mengkritik Habermas yang tidak menyangkutkan analisis Teori Kritisnya terhadap fenomena rasisme, ketidakadilan gender, perlawanan dalam bentuk anti-imperialisme, dan sejenisnya. Di sisi lain, penafian tersebut juga dapat dipahami bahwa Habermas relatif “menganggap remeh” mengenai kesulitan-kesulitan yang muncul dalam upaya untuk membangun kondisi ideal tersebut. Dengan kata lain, apakah kondisi ideal yang memungkinkan terwujudnya pemahaman yang bermakna melalui tindakan komunikatif dapat terjadi? Mengingat—sebagaimana dikemukakan oleh McLean—bahwa relasi kuasa yang tidak simetris terjadi dalam ras, gender dan kelas sosial, dan cita-cita mewujudkan pencerahan Barat (Western Enlightenment) oleh Habermas juga mengindikasikan posisi dominasi nalar pikir Barat di atas tradisi budaya pikir lainnya. Ada konsensus yang ingin dicapai dalam sebuah perbincangan rasional juga cenderung menimbulkan dominasi pendapat dan pengetahuan. Dari banyak kritik yang diajukan tersebut, McLean (2006: 14) sendiri menyatakan tidak mudah untuk menjawabnya, ia menyatakan pendapatnya dikaitkan dengan dunia pendidikan:

With all these critisisms mind, I think that the principles that Habermas outlines are a foundation for thinking about action based on people coming together to examine social conditions and to agree about how to improve them. This is particularly so for education. In Habermas’s terms, education is a “public sphere”—an area of social and political life—that depends, at some level and to some degree, on society coming to agreements about what it is for and how this should be achieved. It seems to me that wether or not it is explicit, “an argument”, with which we can choose to engage, is implied in the arangements are, in any case, constantly made, for example between students and academics, between managers and academics, and between vice-chancellors and organs of the state. This does not mean that education should not accommodate, indeed encourage, a good deal of “dissensus”.

Apa yang diungkapkan McLean dalam kutipan panjang di atas berupaya untuk menempatkan kembali posisi gagasan teoretik dari Habermas, yaitu bahwa Habermas berupaya untuk membangun fondasi berpikir mengenai tindakan atau aksi yang didasarkan hadirnya orang-orang untuk mengkaji kondisi sosial dan kemudian menyepakati tentang bagaimana cara untuk mengatasinya. Hal yang tidak jauh berbeda juga dalam dunia pendidikan yang dapat dikatakan sebagai “ruang publik” (public sphere)—meminjam istilahnya Jürgen Habermas.

3.    Universitas Emansipatif dan Transformatif.
Berkaitan dengan pedagogi universitas, Monica McLean (2006: 8)—sebagaimana diulas sedikit di depan—bahwa  ia menggunakan beberapa konsep teori sosial kritis dari Habermas untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam kampus dan bagaimana memperbaikinya ke depan. Orientasi Teori Kritis secara umum yang ingin membuka selubung ideologis, praktik eksploitasi, dehumanisasi dan lainnya dilakukan dengan melakukan kritik terhadap fenomena sosial dan kemudian berupaya untuk merubahnya, di sinilah konsep emansipasi (emancipation) atau pembebasan dan transformasi atau perubahan (transformation).  Arah emansipasi dan transformasi ini jugalah yang dituju oleh Monica McLean dalam analisisnya atas pedagogi universitas. Di sinilah Habermas (Monica McLean, 2006: 15) mengarahkan “emansipasi” dan/atau “transformasi” sebagai pemandu dan acuan dalam memformulasikan beberapa pertanyaan mengenai pedagogi dan universitas sebagai berikut:

  • Praksis perkuliahan jenis apakah yang dapat dikatakan sebagai emansipatoris atau telah melakukan transformasi?
  • Bagaimanakah seharusnya bentuk pedagogi universitas yang ditujukan untuk mencapai tujuan keadilan sosial?
  • Jenis institusi, kurikulum, pedagogi dan perilaku akademik bagaimanakah yang sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut?
  • Apakah konsep “kolonisasi dunia kehidupan”—dari Habermas—dapat menjelaskan apa hambatan universitas dalam mencapai emansipasi atau transformasi?
  • Apakah gambaran rasio komunikatif (communicative reason) dari Habermas memberi kita dasar harapan bagi jenis pedagogi yang dibangun oleh gagasan Teori Kritis?
  • Apakah ide modernitas sebagai proyek yang belum selesai dari Habermas dapat membantu kita menggambarkan kontur emansipasi/transformasi dari pedagogi universitas?

Adanya upaya emansipasi dan transformasi tersebut terjadi karena McLean mendasarkan pada konsepsi Teori Kritis bahwa  dunia pendidikan—sebagaimana yang lazim dinyatakan oleh para pedagog kritis—merupakan arena produksi dan reproduksi sosio-kultural. Bentuk-bentuk dominasi dan hegemoni dunia pendidikan atau yang dalam istilahnya Habermas adalah “kolonisasi” telah menjadikan emansipasi dan transformasi sebagai satu jalan untuk membangun kondisi sosio-kultural yang adil, demokratis, bebas dan damai. Habermas sendiri—sebagaimana dikatakan oleh McLean (2006: 16)—menyatakan bahwa semua praksis pendidikan memproduksi dan mereproduksi dunia kehidupan, memediasi individu dan masyarakat, termasuk bidang ekonomi dan tata pemerintahan. Secara khusus Habermas menempatkan universitas di antara struktur sosial dan struktural dunia kehidupan dan bentuk-bentuk impertif yang sudah terinstrumentalisasi (terbakukan).

Bagi Habermas yang menyatakan bahwa proyek modernitas belum selesai, universitas ia anggap sangat penting posisinya di tengah masyarakat (karena memang universitas adalah salah satu produk institusionalisasi dan legitimasi pengetahuan modernitas). Ia juga menyatakan bahwa kita harus menilai kembali secara kritis “ide tradisional” universitas sebagai institusi yang otonom dari negara dan publik, kemudian ia mengajukan gagasan bahwa pusat baru universitas mestinya berangkat dari hubungan struktural antara proses pembelajaran di universitas dan proses pengambilan keputusan yang demokratis. Ujarnya, bentuk baru tersebut harus didasarkan pada argumentasi dan komunikasi kritis yang dilakukan oleh para intelektual dan oleh masyarakat (McLean, 2006: 16). Pada tatanan modernitas di mana gelar akademik dan ijazah dianggap penting, maka posisi universitas sangat strategis dalam memengaruhi dan berimplikasi terhadap dunia kehidupan (lifeworld) (budaya, kepribadian dan integrasi terhadap masyarakat) melalui empat fungsinya, yaitu fungsi teknikal, profesional, kultural dan kritis. Habermas menyatakan empat fungsi tersebut dengan merujuk pada Talcott Parsons, selengkapnya sebagaimana dituliskan oleh McLean (2006: 16) sebagai berikut:

a.    the first concerns technical knowledge or the generation of technically exploitable knowledge for producing wealth and services;
b.    the second is the academic preparation of public service professionals—professionals and vocational knowledge;
c.    the third is the transmission, interpretation and development of cultural knowledge (which he also referes to as the “task of general education”, 1989: 121);
d.    the fourth concerns critical knowledge or what he refers to as “the enlightenment of the political public sphere” (1989: 118).

Jika refleksikan empat fungsi tersebut dengan arah dari universitas-universitas di Indonesia, kita akan memperoleh gambaran abstrak dari tugas utama akademisi dan kampus-kampus di Indonesia, yaitu penelitian, pendidikan (pengajaran) dan pengabdian pada masyarakat. Di Indonesia sendiri sebenarnya diskursus mengenai perguruan tinggi belum banyak berkembang, hingga tema-tema orientasi kampus mau ke mana, tugas dan fungsinya apa dalam upaya membangun tatanan sosial masyarakat masa depan, dan lainnya tidak banyak diperbincangkan. Agaknya apa yang diungkapkan oleh Habermas sebagaimana ditulis oleh Monica McLean di atas wilayahnya lebih abstrak dan/atau ideologis ketimbang tugas kampus di Indonesia yang terangkum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (meneliti, mendidik, mengabdi pada masyarakat). Terlepas dari yang dituliskan oleh Monica McLean mengenai jejak historis universitas dengan merujuk pada Delanty (McLean, 2006: 28-32), maka fungsi universitas dan jenis perguruan tinggi lain di Indonesia sekarang ini (1998-2012) lebih banyak sebagai institusi penghasil tenaga teknis dan profesional. Dengan kata lain, lebih menekankan fungsi teknis dan profesional ketimbang fungsi pengembangan keilmuan dan daya-daya kritis politik—dalam konteks yang lebih luas.

Sementara itu McLean (2006: 17) sendiri menyatakan, bahwa berdasarkan pada komitmennya atas tujuan dan nilai-nilai dasar dari Teori Kritis serta pemahamannya terhadap sistem global pendidikan tinggi sekarang ini mengarahkannya kepada tujuan utama dari universitas sekarang ini, yaitu:

a.    to re-balance the emphasis in university education on economic wealth and individual prosperity to take ini, as equal partners, the other traditional aims of education: individual fullfilment and transformation, and citizenship in a democracy;
b.    to address the inequities of the connections between origins and destinies in terms of class, ethnicity, gender and disability;
c.    to address complex and serious global problems, in particular, poverty, the environment and conflict.

Apa yang diajukan oleh McLean tersebut agaknya didasarkan tidak hanya pada ide-ide yang ia ambil dari Habermas saja, melainkan juga dari kritik yang dilakukan oleh Edward Said (dalam McLean, 2006: 13) misalnya yang mengusulkan agar Teori Kritis juga banyak menganalisis kritis mengenai konflik antar-etnis, gender, bahkan sampai pada isu-isu lingkungan hidup—yang karena perspektif analisisnya adalah Teori Kritis, maka diskursus lingkungan hidup pun juga ditelisik pada isu-isu eksploitasi, keadilan sosial, dan sejenisnya. Hal tersebut jelas terlihat dari tujuan universitas yang kedua dan ketiga di atas, ia menyoal tentang kelas sosial, etnisitas, gender, kelompok minoritas berkebutuhan khusus, juga masalah-masalah global, seperti kemiskinan, lingkungan hidup dan konflik sosial. Sementara itu, tujuan yang pertama di atas, dapat ditafsirkan sebagai upaya menyeimbangkan peran agensi dan struktur dalam upaya mencapai transformasi sosial.

4.    Membumikan Teori Kritis dalam Riset Pedagogi di Kampus.
Bahasan terakhir dari bab dua bukunya Monica McLean membicarakan mengenai bagaimana “teknis” yang ia lakukan dalam melakukan analisis mendalam terhadap praktik pedagogi di universitas. Hal ini menarik, mengingat biasanya penelitian terhadap praktik pedagogi pada institusi pendidikan di Indonesia tidak banyak dibawa pada diskursus yang lebih luas, di sisi lain beberapa kecenderungan analisis kritis terhadap fenomena sosial dengan menggunakan perspektif Teori Kritis biasanya lebih banyak berkutat pada analisis teoretis dan tidak banyak diperkuat dengan data-data empiris. Dalam upaya mengatasi masalah itulah, Monica McLean (2006: 19) dalam analisisnya terhadap praktik pedagogi di universitas, mencoba untuk menggabungkan pendekatan sosio-historis dengan mengambil inspirasi dan pencerahan (insight) dari kehidupan sehari-hari dosen dan mahasiswa. Ia juga mengeksplorasi dimensi kultural dan politik dari guru dan mahasiswa di universitas pada momen-momen historis tertentu, dan di sisi lain juga mendasarkan pada pemahaman personalnya mengenai isu-isu dan masalah-masalah terkini.

Analisis sosio-historis pada dasarnya memang lazim dilakukan dalam penelitian dan analisis kritis terhadap fenomena sosial dalam tradisi sosio-humaniora, terutama yang menggunakan pisau analisis teori-teori sosial kritis. McLean mendasarkan apa yang ia lakukan pada pendapat Habermas yang menyatakan bawah pada dasarnya masyarakat (society) tidak dapat lepas dari sejarah (historical dependency), di situ secara alami memang terdapat daya tarik menarik antara sejarah (history) dan sosiologi (sociology), bahkan keduanya relatif memiliki fokus bahasan masalah yang sama baik ketika membahas masa lalu, kini dan masa depan. Dengan mendasarkan pada gagasan dan analisis kritis Habermas, McLean menyatakan bahwa analisis kritisnya terhadap praktik pedagogi di kampus berpusat pada mengenai hubungan-hubungan antara praktik kolonisasi dunia kehidupan politik, kultural dan sosial oleh desakan rasionalitas teknis; juga berkaitan dengan kapasitas rasio komunikatif; dan mengenai proyek demokrasi emansipatoris untuk dunia kekinian (McLean, 2006: 19).

Teknis penelitian yang McLean (2006: 19-20) lakukan adalah: menyeleksi dan menginterpretasikan data-data empiris mengenai fenomena budaya tertentu dengan cara pandang yang menempatkan itu semua pada konteks yang lebih luas dari diskursus sejarah dan kekuasaan dengan tujuan untuk transformasi. Dengan kata lain, ia mencari dan menggali data-data dan informasi yang berkaitan dengan praktik perkuliahan (pedagogi) di kampus sehari-hari, data-data dan informasi tersebut dipilah-pilih, kemudian ia tarik dalam konteks sosial yang lebih luas dan kritis, yakni pada diskursus historis dan kekuasaan untuk tujuan transformasi sosial atau perubahan sosial (social transformation). Karena ragam data dan informasi berbeda-beda, maka pendekatan yang dilakukan oleh McLean (2006: 21) menjadi eklektik, yakni ia mengambil dokumen-dokumen dari yang terpublikasikan hingga yang tak terpublikasikan, kebijakan (policy) pendidikan, bahkan data-data statistik dan lainnya, ia melihat semua materi yang ia dapat tersebut sebagai bentuk komunikasi—dalam istilahnya Habermas—yang berguna sebagai acuan utama dalam proses interpretasi peristiwa-peristiwa pedagogi di kampus. Lebih lanjut ia menyatakan:

I use the theory to provide a general orientation, as well a basis for interpretation of data; but, at the same time, accounts of everyday life clarify the strengths and weakness of the theory. The investigation of university pedagogy I undertake is a reflexive endeavour at the intersection of personal, social, economic and historic formations, so no easy correspondences  with any one theory can be made, but, equally I cannot rely on empirical data alone. (McLean, 2006: 21)

Investigasi atau penelitian yang dilakukan oleh McLean dengan menggunakan panduan atau acuan Teori Kritis dari Habermas di sini tidak sekadar untuk mengisi kekosongan riset-riset pedagogi yang tidak banyak mendasarkan pada teori-teori sosiologi, lebih dari itu didasarkan pada argumentasi bahwa ketika sebuah analisis terhadap data-data empiris tidak menggunakan pisau analisis kritis—dalam hal ini adalah Teori Kritis—maka hasilnya tidak akan jauh dari mengemukakan apa yang terjadi saja, hanya berkutat pada ranah fenomena sosio-kultural saja. Tafsir atau interpretasinya adalah interpretasi konvensional yang tidak mengarah pada diskursus kritis mengenai apa yang “seharusnya”, tapi sekadar mengenai apa yang “terjadi”. Tanpa kerangka kerja Teori Kritis, maka analisis terhadap praktik pedagogi universitas tidak akan bernuansa pedagogi kritis, tidak juga sampai pada diskursus kolonisasi dan eksploitasi hingga emansipasi dan transformasi sosial.

Notes

Draft atau manuskrip ini didiskusikan pada diskusi mingguan dari Educational Studies Forum (EStu), Senin, 2 & 9 April 2012, pukul 15.30 WIB, di Gd. A3, Lt. 1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Manuskrip ini masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut. Penulis, Edi Subkhan, peminat kajian pedagogi kritis, dosen muda pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Referensi

  1. Fakih, Mansour. (2011). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  2. Fakih, Mansour. (1996). Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  3. Topatimasang, Roem., Rahardjo, Toto & Fakih, Mansour. (2010). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
  4. Giroux, Henry. (1983). Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. New York: Bergin and Garvey.
  5. Margolis, Eric (ed). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York & London: Routledge.
  6. McLean, Monica. (2006). Pedagogy and the University: Critical Theory and Practice. London & New York: Continuum International Publishing Group.
Dipublikasi di Teori, Tokoh | 1 Komentar

Menuju Pembelajaran Transformatif

[…] sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di sekolah, mereka dilatih mempelajari gagasan dan pengetahuan formal dari “luar sana” sebagai jawaban atas segala persoalan mereka, bahkan lebih berbahaya lagi, sebagai tujuan, sebagai hidup yang ideal. (Nurhady Sirimorok, 2010: 201)

Upaya untuk mengimplementasikan sebuah mazhab pemikiran dan praksis pendidikan yang ditujukan untuk transformasi sosial pada mulanya memang lebih banyak dilakukan di luar sistem pendidikan formal persekolahan (schooling), sasarannya juga pada mulanya lebih banyak dari orang dewasa (adult), hal ini terjadi misalnya ketika Paulo Freire mulai menggerakkan praksis pendidikan pembebasannya untuk masyarakat petani, buruh, dan kaum terpinggirkan-tertindas lainnya di Brazil pada tahun 1960 dan 1970-an.

Di Indonesia sendiri, mula dari gerakan pendidikan transformatif yang acuan teoretik dan praksisnya pada Paulo Freire (seringkali disebut juga Freirean) juga dilakukan di luar sistem pendidikan formal (sekolah dan kampus), yakni melalui praktik-praktik pemberdayaan masyarakat (community empowering) yang dilakukan oleh beberapa lembaga Non Government Organizations (NGO’s) pada akhir tahun 1980-an sampai sekarang (Mansour Fakih, 1996). Di kampus sendiri gerakan tersebut juga dimulai dari munculnya komunitas-komunitas intelektual di luar kampus, terutama dimulai pada saat ketentuan NKK/BKK dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Di sisi lain, pada gerakan pendidikan transformatif yang mengambil bentuk pendidikan formal dan tidak mengacu pada Freire, kita bisa melacaknya kira-kira mulai dari didirikannya Sekolah Rakyat oleh Tan Malaka di Semarang dan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, selain itu juga terdapat INS Kayutanam oleh M. Sjafe’i dan Sekolah Dasar (SD) Mangunan yang diprakarsai oleh Romo Mangun dan lainnya.

Pada satu dekade terakhir ini gerakan pendidikan untuk transformasi sosial juga berkembang di kampus dan sekolah-sekolah formal. H.A.R. Tilaar misalnya, adalah termasuk pioner yang memacu hadirnya diskursus pendidikan transformatif di lingkungan kampus (H.A.R. Tilaar, Jimmy & Lody Paat, 2011). Munculnya gerakan guru kritis dalam beberapa organisasi guru dan beberapa ragam pendidikan alternatif adalah fenomena tersendiri yang muncul. Dari semua fenomena gerakan pendidikan transformatif di Indonesia tersebut, semuanya menempatkan guru sebagai agensi atau aktor utama perubahan sosial dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, menjadi unik apa yang dilakukan oleh Nurhady Sirimorok di Makassar (Sulawesi Selatan), karena gerakan pendidikan transformatifnya “bertumpu” pada siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA). Program yang ia gagas bersama kawan-kawannya mencoba menyasar siswa-siswi pada jenjang pendidikan SMA.

Ketika beberapa fakta gerakan guru yang berpegang pada gagasan dan prinsip dasar pedagogi kritis dan/atau pendidikan transformatif di beberapa tempat tidak selalu berhasil—walau sudah dimulai sejak lama, lalu bagaimanakah hasil dari desain program pendidikan transformatif yang dilakukan Nurhady Sirimorok di Makassar? Dengan menarik ia menuliskan ulasan pengalaman dan hasil dari programnya tersebut dalam bukunya yang berjudul “Membangun Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Transformatif Orang Muda” terbitan Insist Press, Yogyakarta, 2010.

Desain Program
Nurhady bersama kawan-kawan di Makassar yang tergabung dalam Rumah Kamu mulai tahun 2003 mencoba menyelenggarakan sebuah program pembelajaran partisipatif yang sasarannya adalah anak-anak usia Sekolah Menengah Atas (SMA). Program tersebut diberi nama Youth Camp atau “kemah” orang muda.

Desain program yang mengambil siswa-siswi SMA ini juga tidak asal comot saja, melainkan mendasarkan pada pertimbangan yang cukup mendalam. Ketika mau mengambil peserta program yang berasal dari mahasiswa, Nurhady dan kawan-kawan menilai bahwa mahasiswa biasanya sudah banyak yang tercekoki oleh indoktrinasi ideologis yang banyak dilakukan oleh organisasi mahasiswa ekstrakampus, dan kalau hanya mengandalkan program selama beberapa hari, jelas akan sulit untuk membalik cara dan para berpikir mereka (hlm. 87). Di sisi lain, bidikan Nurhady pada siswa-siswi SMA juga didasarkan pada keprihatinannya terhadap stigma negatif yang menempel pada siswa-siswi SMA, atau sebagaimana ia sebutkan secara lebih luas adalah Orang Muda. Ia menuliskan:

Bagi Orang Muda Indonesia, persoalan pendidikan kita bermasalah di seluruh aspeknya. Mulai dari kurikulum yang kaku dan bersih dari pemikiran kritis, bersifat tambal sulam, dan bias urban. Media massa yang menyempitkan pandangan publik tentang persoalan Orang Muda karena mengejar rating. Kultur paternalistik Orde Baru yang menjaikan Orang Muda sebagai makhluk bodoh dan tukan rusuh tapi apolitis. Praktik pendidikan yang culas dan kapitalistik. Kompetensi guru yang mengalami defisit. Hingga kebijakan pendidikan nasional yang menjadikan guru sebagai pegawai patuh ketimbang pendidik dan peserta didik sebagai anak patuh dan siap jual. (Nurhady Sirimorok, 2010: 57)

Sasaran program ini adalah siswa-siswi kelas tiga SMA di Kota Makassar. Mereka dibawa ke daerah pedesaan yang jauh dari Kota untuk hidup bersama dengan masyarakat desa tersebut. Selama lebih kurang sebelas hari siswa-siswi SMA tersebut belajar mengamati kehidupan masyarakat desa yang sebelumnya banyak mereka anggap sebagai terbelakang, bodoh dan tidak berdaya. Inilah desain program yang mendorong siswa-siswi—atau dalam istilahnya Nurhady Sirimorok adalah Orang Muda—untuk menjadi peneliti (student as researcher), yang ia kembangkan oleh Steinberd, Kincheloe dan koleganya (hlm. 105). Kita juga dapat menelusuri gagasan ini pada gagasan Henry Giroux bahwa guru sudah seharusnya untuk menjadi intelektual (teachers as intellectual).

Sebagai sebuah desain program yang melatih Orang Muda peserta program sebagai peneliti, maka aktivitas dasar yang dilakukan—sebagaimana dikemukakan di atas—adalah mengamati (observasi), wawancara kepada warga desa, membaca data dan informasi yang diperoleh, menganalisis data dan menuliskannya. Laporannya sendiri sebenarnya tidak hanya berupa laporan penelitian, melainkan juga dapat berupa media lainnya, misalnya video pendek dan surat untuk pemerintah. Tiap siswa-siswi diberi tugas untuk menuliskan Jurnal personal atau pengalamannya sehari-hari hidup bersama warga desa, termasuk cerita pengalaman mereka dalam mengamati, melakukan wawancara dan menganalisis data. Selama itu pula tiap dua anak menginap di rumah warga, hal tersebut ditujukan agar mereka dapat melihat lebih dekat kehidupan masyarakat desa dari salah satu lingkup terkecilnya, yaitu keluarga.

Sebagaimana ditunjukkan pada judul bukunya maka tujuan dari program ini adalah untuk membangun kesadaran kritis para siswa-siswi peserta program. Oleh karena itu, keterlibatan siswa-siswi dalam program ini tidaklah didesain sebagaimana program kepecinta-alaman, kepanduan (Pramuka), atau sejenis Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat akhir. Pada level ideologis, program yang dijalankan oleh Nurhady dan kawan-kawan ini adalah upaya serius untuk membongkar cara pandang atau paradigma berpikir dari siswa-siswi peserta program, bahwa sejatinya praksis pendidikan yang telah mereka alami di sekolah formal tidak sepi dari masalah; juga bahwa terdapat ruang, tempat dan cara belajar lain selain dari lingkungan sekolah yang mereka alami selama ini.

Secara lebih terperinci, beberapa hal yang ingin dituju dari program Youth Camp ini adalah memberikan perspektif dan pemahaman kepada peserta bahwa terdapat ruang belajar lain selain sekolah, sumber belajar bukan satu-satunya ada di sekolah dan di tangan guru, bahwa kehidupan riil masyarakat juga merupakan sumber belajar dan pengetahuan yang tak ada habis-habisnya. Selain itu juga ingin mengenalkan bahwa ada cara lain dalam belajar, bahwa belajar tidak hanya bertumpu harap pada buku-buku teks dan jawaban dari guru di kelas, melainkan bisa dari eksplorasi terhadap lingkungan alam dan realitas sosial masyarakat riil yang justru lebih kaya ragam dan up date.

Pembelajaran Transformatif
Desain program Youth Camp dan apa yang ditulis oleh Nurhady dalam bukunya tersebut lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membangun perubahan pada level personal yang lebih sempit lingkupnya. Dengan demikian, yang diinginkan dari program tersebut adalah perubahan paradigma berpikir siswa-siswi tersebut, oleh karena itu tidak didesain sebagai program pemberdayaan (empowerment) masyarakat desa dan sejenisnya. Jadi bukan perubahan sosial, melainkan perubahan pada level personal. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari bagaimana program Youth Camp memilih individu-individu dari beberapa sekolah tertentu untuk dipilih dan diikutkan dalam program. Pun desain programnya bukanlah untuk memberdayakan masyarakat tempat siswa-siswi tersebut bertempat tinggal selama beberapa hari, melainkan untuk memberikan pengalaman hidup bagi siswa-siswi tersebut.

Nurhady oleh karenanya fokus pada proses pembelajaran (bukan pendidikan) yang lebih terfokus pada proses pembelajaran (learning). Istilah yang dipilihnya adalah pembelajaran transformatif (transformative learning) yang ia ambil dari Jack Mezirow dan beberapa acuan teoretik dari Journal of Transformative Education Learning dan Journal of Transformative Education juga menunjukkan bahwa pembelajaran transformatif yang ia praktikkan berada dalam lingkup gagasan dan praksis pendidikan transformatif (Sirimorok, 2010: 40-41). Lebih lanjut Nurhady dengan merujuk pada Jack Mezirow mengungkapkan konsep pembelajaran transformatif sebagai berikut.

Pembelajaran Transformatif adalah sebuah proses di mana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir (frame of reference). Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan emosional. Fenomena ini tidak dapat diajarkan tetapi harus dialami, sehingga peran pendidik terbatas sebagai fasilitator dan pemantik bagi berlangsungnya proses ini. Akhirnya dalam proses ini, individu bertransformasi menjadi pembelajar yang bisa mengarahkan diri sendiri, kritis, dan mampu berpikir secara otonom. (Nurhady Sirimorok, 2010: 47-48)

Dengan kerangka acuan tersebut, program Youth Camp dijalankan. Sebagaimana dikemukakan di depan, siswa-siswi peserta program dibenturkan dengan realitas sosial di luar kelas, yang sejatinya mereka juga tiap hari selalu mengalaminya, yakni ketika di keluarga dan masyarakat, hanya saja dalam Youth Camp ini mereka diarahkan sedemikian rupa untuk mengalami peristiwa atau momen-momen yang mencerahkan.

Desain lingkungan dan praksis pembelajaran dibalikkan 180 derajat dari yang mereka alami selama di sekolah dan masyarakat. Selama mereka berada di lingkungan sekolah, mereka diarahkan untuk belajar dari dua sumber utama, yaitu guru dan buku teks, maka di lingkungan “baru” tersebut mereka diajak untuk belajar dari berbagai macam sumber pengetahuan. Mereka diajari bahwa tujuan bersekolah adalah untuk mencapai prestasi yang tinggi, logika kompetisi diajarkan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut.  Praksis pembelajaran yang tidak desain dalam bentuk aktivitas cinta alam atau bakti sosial diharapkan dapat menjadi lingkungan belajar yang subur bagi tumbuhnya kesadaran kritis.

Identifikasi Adanya Perubahan (transformasi)
Keberhasilan program dalam merubah cara pandang siswa-siswi tersebut misalnya dapat dilihat ketika terjadi kasus siswa lulusan Youth Camp berupaya menentang praktik perankingan di sekolahnya, yakni ketika Kepala Sekolah punya kebijakan akan mengumpulkan siswa-siswi yang pintar dalam satu kelas dan yang tidak pintar dalam satu kelas lain yang berbeda. Nurhady menulis:

Pelajar-pelajar tersebut berpikir bahwa metode ini akan memperlebar jarak antara mereka yang cemerlang secara akademik dengan mereka yang tidak. Mereka mengajukan argumen menurut pengalaman mereka kepada Kepala Sekolah: “Ini akan membuat [pelajar] yang tertinggil akan semakin tertinggal, sebab guru tidak memperlakukan setiap kelas dengan [perhatian] yang sama.” Lebih jauh mereka menduga bahwa penyatuan para pelajar dari ranking teratas, berhubungan dengan upaya pihak sekolah untuk memperbaiki laporan yang ditujukan kepada atasannya. Dengan menggunakan rata-rata nilai dari kelas yang diisi para juara kelas itu sebagai sampel, maka nilai rata-rata keseluruhan sekolah akan terdongkrak. (Nurhady Sirimorok, 2010: 161)

Pengalaman-pengalaman “perlawanan” dan “negosiasi” yang dilakukan para Orang Muda pasca mengikuti Youth Camp inilah yang digali lebih jauh oleh Nurhady untuk mengidentifikasi: apakah desain program Youth Camp tersebut sudah dapat sampai pada tujuan transformasi, yakni di sini ditekankan pada transformasi pembelajaran yang intinya adalah transformasi individu.

Cerita lain yang juga diidentifikasi oleh Nurhady sebagai keberhasilan program ini adalah ketika mereka mempertanyakan keberlanjutan program ini bagi masyarakat desa yang mereka tinggali selama beberapa hari tersebut. Memang desain Youth Camp yang difokuskan pada upaya transformasi pada ranah individual tidak diarahkan pada upaya memberdayakan masyarakat sekitar, dan hal inilah yang juga dikritik oleh siswa-siswi peserta program tersebut. Selain itu juga terdapat kritik, bahwa program ini ternyata terlalu menekankan pada perkembangan kelompok, padahal perkembangan individual juga diperlukan untuk diperhatikan serius.

Upaya untuk membangun kesadaran kritis tersebut sampai pada level transformasi individual, sejatinya juga menyisakan tanya dan soal. Misalnya, dengan penekanan pada transformasi pada dimensi individual si anak, bagaimana dengan transformasi sosial pada lingkup yang lebih luas, yaitu sekolah dan masyarakat; bagaimana juga penekanan pada agensi (agency) ini dapat memberi kontribusi bagi perubahan struktur (institusi, sistem, sekolah); apa benar iya “hanya” dalam tempo sebelas hari sudah bisa menghasilkan bentuk transformasi individual yang “luar biasa”, atau jangan-jangan penggalian data ini hanya untuk menunjukkan telah dicapainya perubahan atau transformasi pada dimensi individu si siswa-siswi tersebut? Di sisi lain, upaya pengamatan secara serius yang dilakukan oleh Nurhady dan kawan-kawan kepada para lulusan program Youth Camp tampak belum sampai pada upaya pengorganisasian mereka. Para lulusan “dibiarkan” untuk bergerak dalam bentuk melawan dan melakukan negosiasi di dalam struktur sekolah. Bahkan detail-detail bentuk aktivitas yang dilakukan Orang Muda tersebut di masyarakat juga belum tergambarkan dengan jelas.

Terlepas dari beberapa pertanyaan itu dan lainnya yang muncul dari hadirnya buku ini, maka sebagai sebuah program lived in di masyarakat selama lebih kurang 11 (sebelas) hari, capaian ini dapat dikatakan luar biasa. Analisis yang mengaitkan antara siswa-siswi peserta program sebagai agensi perubahan dan struktur kekuasaan di sekolah yang seringkali tidak akomodatif terhadap perubahan juga cukup kritis. Pun buku ini sebagai sebuah dokumentasi terhadap program pembelajaran yang dapat dimasukkan dalam satu aliran pedagogi kritis (critical pedagogy)—walaupun Nurhady lebih menyebutnya sebagai pembelajaran transformatif (transformative learning)—harus diapresiasi secara sungguh-sungguh, karena memang pengalaman-pengalaman inilah yang penting untuk dibagi sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua yang ingin membangun dan menggerakkan pendidikan sebagai praksis perubahan sosial.

Satu paragraf menarik yang ditulis oleh Nurhady sebagai refleksinya atas apa yang dilakukan oleh para lulusan program Youth Camp, yakni ketika mereka melakukan perlawanan frontal atau negosiasi halus di sekolah, sebagai berikut.

Berbekal kerangka berpikir dan informasi baru yang mereka peroleh, di banyak kasus, para alumni program bisa secara kreatif menciptakan beragam model negosiasi, berbagai titik temu, atau bahkan ruang baru, di mana agensi mereka bisa diejawantahkan tanpa mengundang konflik yang berarti. (Nurhady Sirimorok, 2010: 154)

Antara Agensi dan Struktur
Jika ditarik pada level teoretis, perbincangan yang teramat penting adalah mengenai perdebatan antara agensi dan struktur. Apa yang dilakukan oleh Nurhady dan kawan-kawan melalui Youth Camp adalah upaya gerakan pendidikan transformatif yang menekankan pada agensi, bukan struktur. Nurhady menyatakan bahwa kelompok strukturalis yang cenderung melakukan analisis kritis terhadap struktural sistem kekuasaan, relatif tidak dapat melihat secara jelas capaian-capaian perubahan pada level akar rumput dan lokalitas.

Lebih kurang terdapat 5 (lima) kritik Nurhady (2010: 166-169) terhadap bahaya menganaikan agensi, yaitu (1) mengabaikan agensi akan menyebabkan menjalarnya sikap menunggu, berpangku tangan, bahkan apatis terhadap upaya perubahan; (2) pendekatan struktural-formal ini juga cenderung hanya mengandalkan kekuatan dari luar (misal bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah yang paling berkuasa dalam merubah tata kelola birokrasi untuk menjai lebih demokratis, akuntabel dan lainnya); (3) pengabaian agensi juga menjadi sebab bertahannya kekuagan hegemonik yang gagal mendapatkan tantangan, bisa juga jadi sebab gagalnya identifikasi model-model gerakan “dari dalam sistem” yang berhasil dan genuine; (4) pengabaikan agensi juga mengakibatkan makin menjadi-jadinya penyalahgunaan kekuasaan; dan (5) pengabaian ini juga meningkatkan kesulitan bagi aktor-aktor di luar struktur formal untuk melakukan upaya transformasi. Saya kutipkan agak panjang di sini pernyataan Nurhady Sirimorok (2010: 186) dengan mengacu pada Hickey dan Mohan, mengenai kritiknya terhadap “kaum strukturalis”.

[…] kaum strukturalis cenderung terjebak dalam harapan perubahan “struktural-formal” besar, yang kadang terasa muluk-muluk, bahwa pemerintah harus segera melakukan ini dan itu, tanpa melihat secara detail skema kultural yang bekerja di balik kebijakan lembaga besar yang mereka kritik. Di samping itu, mereka juga cenderung mengabaikan kemungkinan aktor, atau jaringan aktor-aktor—yang mungkin karena berada pada level bawah sehingga tak terlihat—yang sebenarnya bisa mengusahakan perubahan, meski dimulai dari lingkungan yang paling kecil.

Notes

Artikel pendek ini telah dipaparkan pada diskusi perdana Educational Studies Forum (EStu), hari Senin, 26 Maret 2012 pukul 15.30 WIB, di Gd. A3, Lt. 1, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang (Unnes). Penulis dan sekaligus pemantik adalah Edi Subkhan, dosen muda pada Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIP Unnes.

Referensi

  1. Fakih, Mansour. (1996). Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  2. Sirimorok, Nurhady. (2010). Membangun Kesadaran Kritis: Kisah Pembelajaran Partisipatif Orang Muda. Yogyakarta: Insist Press.
  3. Tilaar, H.A.R., Paat, Jimmy & Lody, Paat. (2011). Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dipublikasi di Kritik, Tokoh | 5 Komentar